Salah satu sahabat saya, yang seorang polisi, marah-atau katakanlah, sedikit emosi ke saya.
gara-garanya, ada pertanyaan yang saya lontarkan, bisa dibilang memojokkan dia.
sahabat saya bilang : "Ji..kamu itu kok belum percaya saja sama saya. selama bertugas, mana pernah saya menutupi sesuatu ke kamu dan teman-teman wartawan lain,"
saya yang tertegun, hanya bisa minta maaf.
"mohon maaf mas...saya ini kan cuma buruh yang disuruh majikan saya bertanya ke sampeyan....maka saya bertanya ke sampeyan, agar menjaga predikat saya sebagai wartawan yang objektif," kata saya seketika.
sahabat saya merespon. dia lalu mengirim balik pesan singkat ke saya.
intinya, dia memang sedikit emosi karena merasa dicurigai ini-itu. padahal dia merasa tidak punya relevansi dengan tuduhan itu.
lalu saya kembali bekerja, menulis berita.
jam setengah sebelas malam. tulisan sudah selesai, tapi saya tetap belum bisa pulang. redaktur sedang melihat tulisan saya.
meski ngantuk, dan praktis tidak ada pekerjaan berguna yang saya lakukan, saya masih harus di kantor. jaga-jaga kalau redaktur menanyakan sesuatu, terkait tulisan yang saya buat.
tiba-tiba ponsel saya bergetar kencang. pacar saya kirim sms. dia bilang : "mas, lagi ngapain sih. katanya deadline selesai jam delapan malem. jam segini kok masih kerja,"
lalu, dengan kedongkolan (yang kira-kira sama bobotnya dengan kedongkolan sahabat saya tadi) saya jelaskan ke pacar saya, kenapa kiranya saya masih di kantor...
Kamis, 09 Oktober 2008
Selasa, 26 Agustus 2008
Dhimam Abror
Mungkin ini adalah tulisan yang terlambat untuk kepindahan Pak Abror.
Tapi terus terang, saya sangat kecewa dengan pindahnya Pak Abror.
Mas Hadi, sahabat saya di kantor, saat itu sempat pulang dari Palmerah-Jakarta, hanya untuk ikut futsal di Gresik.
Kami sempet ngobrol.
Lalu saya ditanya. "Le (dia biasa memanggil saya tole), nek misale Pak Ror (panggilan kami untuk pak Abror) ngejak kowe pindah piye?,"
Saya jawab : "hmm..pertanyaan yang sulit saya jawab,"
Bukannya saya jadi gak loyal lagi sama kantor saya. Bukannya saya ini junior yg g tau terima kasih ke korps saya.
Tapi, bagaimana tidak. La wong Pak Abror ini adalah salah satu alasan kenapa dulu saya berdoa agar diterima kerja jadi wartawan di kantor saya.
Saya sangat kecewa juga karena saya tidak mendengarkan langsung pidato perpisahan dari Pak Ror di kantor. Pas itu saya lagi cangkruk di warung kopi depan kantor. ah, bodohnya.
Selesai perpisahan itu, pulang dari kantor, seperti biasa sebelum tidur, saya smsan dengan pacar saya.
Yang saya bahas juga tentang kepindahan Pak Ror.
Pacar saya menghibur saya dengan jawaban ini. "Yah...mungkin dia pindah untuk membesarkan koran kecil lainnya. Seperti yg sudah dia lakukan di kantor sampeyan,"
Saya langsung membayangkan bahwa Pak Ror adalah seorang Guus Hiddink di PSV Eindhoven, timnas Korsel, Australia, atau Russia.
Pelatih bola yang sukses dengan tim-tim gurem.
Membuat penonton melakukan standing ovation meski toh akhirnya mereka kalah.
Sekarang, Pak Ror akan berlabuh di kantor baru. Kantor yang saya ibaratkan seperti klub bola macam Everton, Nottingham Forest, atau Napoli. Klub-klub besar yang sekarang terpuruk. Sleeping giant, raksasa yang tengah tertidur. Pak Ror mungkin tergugah untuk membangunkan raksasa itu.
Atau, ada sesuatu di kantor yang membuat Pak Ror tidak kerasan?
Macam Jose Mourinho (pelatih klub bola Chelsea) yang nggak suka kalau Roman Abramovich (pemilik klub) ikut campur keputusan jual-beli pemain, yang seharusnya menjadi hak mutlak sang pelatih.
Atau seperti Luis Felipe Scolari, eks-pelatih timnas Portugal yang sekarang melatih chelsea. Yang nggak kuat menolak sodoran kontrak jutaan poundsterling yang diajukan Abramovich.
Entahlah, banyak teori kenapa Pak Ror pindah.
Saya juga sama sekali tak tertarik untuk mencari tahu. Karena apapun itu, Pak Ror tetap pindah.
Saya sempat juga bilang betapa kecewanya saya terhadap kepindahan DA10 (DA=Dhimam Abror, selalu diberi kehormatan memakai nomor punggung keramat 10 di tim bola kantor saya) kepada mas Hadi.
Lalu mas Hadi bilang gini.."yah, kalau Roman Abramovich sudah bilang pindah, kita mau apalagi.."
Benar juga pikir saya. Biar Jose Mourinho pindah ke Inter Milan, Didier Drogba tetap harus bermain. The world keeps on turning, jack!
Sekarang, saya tinggal berharap. Siapapun yang datang sebagai bos baru, punya sifat humble terhadap bawahannya. Yang menganggap bawahan sebagai teman. Bos yang suka guyon. Bos yang tak rikuh main bola sama bawahannya. Bos yang suka Manchester United.
Ah...kayaknya kok nggak mungkin.
Biar sajalah.
Toh, Tuhan mempersilahkan kita untuk berharap. Meskipun muluk dan tedengar tidak mungkin.
catatan:
Dhimam Abror adalah nama eks-pemimpin redaksi saya, yang pindah ke koran lain.
Tapi terus terang, saya sangat kecewa dengan pindahnya Pak Abror.
Mas Hadi, sahabat saya di kantor, saat itu sempat pulang dari Palmerah-Jakarta, hanya untuk ikut futsal di Gresik.
Kami sempet ngobrol.
Lalu saya ditanya. "Le (dia biasa memanggil saya tole), nek misale Pak Ror (panggilan kami untuk pak Abror) ngejak kowe pindah piye?,"
Saya jawab : "hmm..pertanyaan yang sulit saya jawab,"
Bukannya saya jadi gak loyal lagi sama kantor saya. Bukannya saya ini junior yg g tau terima kasih ke korps saya.
Tapi, bagaimana tidak. La wong Pak Abror ini adalah salah satu alasan kenapa dulu saya berdoa agar diterima kerja jadi wartawan di kantor saya.
Saya sangat kecewa juga karena saya tidak mendengarkan langsung pidato perpisahan dari Pak Ror di kantor. Pas itu saya lagi cangkruk di warung kopi depan kantor. ah, bodohnya.
Selesai perpisahan itu, pulang dari kantor, seperti biasa sebelum tidur, saya smsan dengan pacar saya.
Yang saya bahas juga tentang kepindahan Pak Ror.
Pacar saya menghibur saya dengan jawaban ini. "Yah...mungkin dia pindah untuk membesarkan koran kecil lainnya. Seperti yg sudah dia lakukan di kantor sampeyan,"
Saya langsung membayangkan bahwa Pak Ror adalah seorang Guus Hiddink di PSV Eindhoven, timnas Korsel, Australia, atau Russia.
Pelatih bola yang sukses dengan tim-tim gurem.
Membuat penonton melakukan standing ovation meski toh akhirnya mereka kalah.
Sekarang, Pak Ror akan berlabuh di kantor baru. Kantor yang saya ibaratkan seperti klub bola macam Everton, Nottingham Forest, atau Napoli. Klub-klub besar yang sekarang terpuruk. Sleeping giant, raksasa yang tengah tertidur. Pak Ror mungkin tergugah untuk membangunkan raksasa itu.
Atau, ada sesuatu di kantor yang membuat Pak Ror tidak kerasan?
Macam Jose Mourinho (pelatih klub bola Chelsea) yang nggak suka kalau Roman Abramovich (pemilik klub) ikut campur keputusan jual-beli pemain, yang seharusnya menjadi hak mutlak sang pelatih.
Atau seperti Luis Felipe Scolari, eks-pelatih timnas Portugal yang sekarang melatih chelsea. Yang nggak kuat menolak sodoran kontrak jutaan poundsterling yang diajukan Abramovich.
Entahlah, banyak teori kenapa Pak Ror pindah.
Saya juga sama sekali tak tertarik untuk mencari tahu. Karena apapun itu, Pak Ror tetap pindah.
Saya sempat juga bilang betapa kecewanya saya terhadap kepindahan DA10 (DA=Dhimam Abror, selalu diberi kehormatan memakai nomor punggung keramat 10 di tim bola kantor saya) kepada mas Hadi.
Lalu mas Hadi bilang gini.."yah, kalau Roman Abramovich sudah bilang pindah, kita mau apalagi.."
Benar juga pikir saya. Biar Jose Mourinho pindah ke Inter Milan, Didier Drogba tetap harus bermain. The world keeps on turning, jack!
Sekarang, saya tinggal berharap. Siapapun yang datang sebagai bos baru, punya sifat humble terhadap bawahannya. Yang menganggap bawahan sebagai teman. Bos yang suka guyon. Bos yang tak rikuh main bola sama bawahannya. Bos yang suka Manchester United.
Ah...kayaknya kok nggak mungkin.
Biar sajalah.
Toh, Tuhan mempersilahkan kita untuk berharap. Meskipun muluk dan tedengar tidak mungkin.
catatan:
Dhimam Abror adalah nama eks-pemimpin redaksi saya, yang pindah ke koran lain.
Minggu, 10 Agustus 2008
ponsel
Saya heran kenapa orang Indonesia begitu ngefans sama barang yang satu ini.
Sedemikian hebatnya ponsel, sampai didaulat menjadi barang yang mereka harap, bisa memperlihatkan, atau memperbaiki status mereka.
Sempat mampir ke sebuah sekolahan smp, seorang anak tionghoa main game di ponsel keluaran sony-ericsson yang harganya 2 jutaan.
Pernah juga menunggu teman di sebuah sma di kawasan sma kompleks. Pasangan wali murid, datang dengan sebuah motor butut. Yamaha bebek keluaran 70-an. Si ibu turun. Dengan tergopoh-gopoh dia datang ke satpam. ”Pak saya nitip ini ke anak saya,”
Ibu itu lalu menitipkan sebuah ponsel nokia berkamera 1,3 juta piksel. Yang harganya tentu diatas 1,5 juta.
Ketika saya berhenti sejenak untuk beli martabak di dekat unesa, mata saya tertuju ke sebuah warung kopi di seberang jalan. Dua orang remaja tanggung sedang bersenda gurau. Sambil manggut2, karena seseorang diantara mereka menyalakan keras2 lagu grup band d'masiv dari mp3 player yang ada di ponsel miliknya.
Jalan-jalan ke tunjungan plasa, seorang anak pribumi kaya berumur sekitar 8 taunan, asyik ngobrol ngalor ngidul sambil tetawa-tawa. Entah apa yang diobrolkan, tapi rasanya gak mungkin kalo dia lagi tanya pe-er ke salah satu temannya.
Sambil mengelus dada, saya membayangkan berapa pulsa yang dia habiskan.
Di rumah, mbakyu saya lagi serius membolak balik sebuah tabloid khusus ponsel. Sepertinya dia ingin ganti ponsel lagi setelah belum genap sebulan lalu ganti ponsel untuk entah yang ke berapa kalinya..
Jumatan di masjid kantor, saat khotib jumat bersusah payah bedakwah, seorang pegawai dari kantor depan kantor, memencet-mencet ponselnya. Sepertinya lagi mengutak-atik feature yang ada di ponselnya. Sesekali, dia pamerkan foto-foto yang ada di ponselnya ke teman yang ada disebelahnya.
Di pasar malam dadakan, seorang pembantu rumah tangga genit menguntai-nguntai ponselnya. Bila gerakan tubuhnya bisa bicara, mungkin bilang begini : ”nih, lihat..aku punya ponsel lho...,”
Oh ya, teman sekantor saya kemarin baru saja dapet rejeki. Apa yang pertama dia bilang? ”Wah..bisa ganti baru hape baru nih..,”
Yang paling menyebalkan, sempat saya, bersama westi-pacar saya, makan di warung sate pinggir jalan. Ada pembeli lain (yang keliatannya juga pasangan pacar) di warung itu.
Pembeli ini, dari saya memesan sate, sampai 10 tusuk sate ayam saya habis, obrolannya tidak pernah lepas dari masalah ponsel. Bak pakar ponsel, dia menceritakan dengan detail kehebatan sebuah ponsel kepada sang pacar.
Ketika pacarnya berkomentar salah tentang sebuah ponsel, dengan sigap dia langsung mengoreksinya. Persis makelar hape yang banyak nongkrong di depan wtc.
Yang lebih heran lagi, belakangan pacar saya mendesak saya untuk mengganti ponsel motorola keluaran tahun 2003 yang saya miliki.
Bagaimana tidak heran, wong jelas-jelas ponsel saya masih bisa buat menelepon.
Dan perasaan, setiap saya mengirim pesan singkat, selalu terkirim ke nomor tujuan tanpa berkurang satu huruf pun.
Sedemikian hebatnya ponsel, sampai didaulat menjadi barang yang mereka harap, bisa memperlihatkan, atau memperbaiki status mereka.
Sempat mampir ke sebuah sekolahan smp, seorang anak tionghoa main game di ponsel keluaran sony-ericsson yang harganya 2 jutaan.
Pernah juga menunggu teman di sebuah sma di kawasan sma kompleks. Pasangan wali murid, datang dengan sebuah motor butut. Yamaha bebek keluaran 70-an. Si ibu turun. Dengan tergopoh-gopoh dia datang ke satpam. ”Pak saya nitip ini ke anak saya,”
Ibu itu lalu menitipkan sebuah ponsel nokia berkamera 1,3 juta piksel. Yang harganya tentu diatas 1,5 juta.
Ketika saya berhenti sejenak untuk beli martabak di dekat unesa, mata saya tertuju ke sebuah warung kopi di seberang jalan. Dua orang remaja tanggung sedang bersenda gurau. Sambil manggut2, karena seseorang diantara mereka menyalakan keras2 lagu grup band d'masiv dari mp3 player yang ada di ponsel miliknya.
Jalan-jalan ke tunjungan plasa, seorang anak pribumi kaya berumur sekitar 8 taunan, asyik ngobrol ngalor ngidul sambil tetawa-tawa. Entah apa yang diobrolkan, tapi rasanya gak mungkin kalo dia lagi tanya pe-er ke salah satu temannya.
Sambil mengelus dada, saya membayangkan berapa pulsa yang dia habiskan.
Di rumah, mbakyu saya lagi serius membolak balik sebuah tabloid khusus ponsel. Sepertinya dia ingin ganti ponsel lagi setelah belum genap sebulan lalu ganti ponsel untuk entah yang ke berapa kalinya..
Jumatan di masjid kantor, saat khotib jumat bersusah payah bedakwah, seorang pegawai dari kantor depan kantor, memencet-mencet ponselnya. Sepertinya lagi mengutak-atik feature yang ada di ponselnya. Sesekali, dia pamerkan foto-foto yang ada di ponselnya ke teman yang ada disebelahnya.
Di pasar malam dadakan, seorang pembantu rumah tangga genit menguntai-nguntai ponselnya. Bila gerakan tubuhnya bisa bicara, mungkin bilang begini : ”nih, lihat..aku punya ponsel lho...,”
Oh ya, teman sekantor saya kemarin baru saja dapet rejeki. Apa yang pertama dia bilang? ”Wah..bisa ganti baru hape baru nih..,”
Yang paling menyebalkan, sempat saya, bersama westi-pacar saya, makan di warung sate pinggir jalan. Ada pembeli lain (yang keliatannya juga pasangan pacar) di warung itu.
Pembeli ini, dari saya memesan sate, sampai 10 tusuk sate ayam saya habis, obrolannya tidak pernah lepas dari masalah ponsel. Bak pakar ponsel, dia menceritakan dengan detail kehebatan sebuah ponsel kepada sang pacar.
Ketika pacarnya berkomentar salah tentang sebuah ponsel, dengan sigap dia langsung mengoreksinya. Persis makelar hape yang banyak nongkrong di depan wtc.
Yang lebih heran lagi, belakangan pacar saya mendesak saya untuk mengganti ponsel motorola keluaran tahun 2003 yang saya miliki.
Bagaimana tidak heran, wong jelas-jelas ponsel saya masih bisa buat menelepon.
Dan perasaan, setiap saya mengirim pesan singkat, selalu terkirim ke nomor tujuan tanpa berkurang satu huruf pun.
Kamis, 03 Juli 2008
Pilgub
saya pindah desk. kantor memerintahkan saya untuk menambah kekuatan desk politik (baca : pilgub).
bagaimana rasanya? jujur saja, saya orang yang apatis terhadap politik. di koran, halaman politik adalah satu-satunya lembar yang saya lirik pun tidak. halaman olahraga, halaman utama, surabaya, nasional, internasional, jadwal bioskop, saya baca semua. bahkan halaman untuk kaum wanita pun juga saya baca. but, politics no way!
saya ini lo golput sejati. saya tidak peduli dianggap pengecut yang tidak takut salah memilih. dianggap pemuda yang tidak peduli terhadap masa depan bangsa. i dont fuckin' care.
waktu pemilu, saya sempat diumpat papa saya habis2an..gara2nya saya malah tidur ketika orang satu kampung keluar untuk nyoblos. akhirnya, agar tidak menyakiti perasaan papa yang telah menghabiskan gajinya untuk menyekolahkan saya, saya pun keluar untuk nyoblos.
tapi ya gitu, pas nyoblos, saya coblos semua kotak. malah, saya bentuk lubang2 itu menyerupai gambar hati. jadi, kertas suara saya tidak sah.
kembali ke pilgub.
akhirnya, seperti yang sudah diduga oleh semua kalangan, di lapangan saya tolah toleh. gak tau apa-apa.
tapi, harus diakui, sebenci-bencinya saya sama dunia yang dipenuhi orang-orang munafik ini, pilgub sebuah media untuk menggerakkan ekonomi rakyat.
tukang sablon laris manis.
tukang pasang poster liar jadi punya pekerjaan.
tim sukses jadi kaya mendadak.
wartawan bodrek jadi berbunga-bunga.
dan, tentu saya juga bisa bilang...bila kantor saya juga sumringah dengan event yang membutuhkan pasokan dana dari pemerintah sekitar 500 milyar rupiah ini. para cagub dan cawagub berani membayar mahal untuk pasang iklan di media cetak. iklan yang tentu saja menonjolkan janji-janji muluk mereka..iklan yang memperlihatkan bagaimana mereka seolah-olah dekat dengan rakyat kecil..iklan mereka melakukan kunjungan kesana kemari..
la iya..kok melakukan kunjungan baru sekarang. dulu, pas jadi pejabat, pas jadi ketua ormas, pas jadi tokoh politik, pas jadi pengusaha sukses, pas jadi perwira tni, kok ya nggak pernah nyambangi pasar, atau buruh pabrik.
apa nanti setelah mereka jadi pejabat tetap melakukan kunjungan-kunjungan cari muka ini?
tidak. mau bukti? lha wong wartawan (yang konon punya kekuatan sakti untuk bertemu bahkan menghakimi pejabat-pejabat) saja susah untuk bertemu mereka kok.....apalagi pedagang buah yang sambat stan-nya digusur satpol.
lha wong rata-rata mereka ini susah ditelpon wartawan dengan alasan telponnya dibawa ajudan kok...apalagi buruh pabrik yang sms usul supaya umr naik.
bagaimana rasanya? jujur saja, saya orang yang apatis terhadap politik. di koran, halaman politik adalah satu-satunya lembar yang saya lirik pun tidak. halaman olahraga, halaman utama, surabaya, nasional, internasional, jadwal bioskop, saya baca semua. bahkan halaman untuk kaum wanita pun juga saya baca. but, politics no way!
saya ini lo golput sejati. saya tidak peduli dianggap pengecut yang tidak takut salah memilih. dianggap pemuda yang tidak peduli terhadap masa depan bangsa. i dont fuckin' care.
waktu pemilu, saya sempat diumpat papa saya habis2an..gara2nya saya malah tidur ketika orang satu kampung keluar untuk nyoblos. akhirnya, agar tidak menyakiti perasaan papa yang telah menghabiskan gajinya untuk menyekolahkan saya, saya pun keluar untuk nyoblos.
tapi ya gitu, pas nyoblos, saya coblos semua kotak. malah, saya bentuk lubang2 itu menyerupai gambar hati. jadi, kertas suara saya tidak sah.
kembali ke pilgub.
akhirnya, seperti yang sudah diduga oleh semua kalangan, di lapangan saya tolah toleh. gak tau apa-apa.
tapi, harus diakui, sebenci-bencinya saya sama dunia yang dipenuhi orang-orang munafik ini, pilgub sebuah media untuk menggerakkan ekonomi rakyat.
tukang sablon laris manis.
tukang pasang poster liar jadi punya pekerjaan.
tim sukses jadi kaya mendadak.
wartawan bodrek jadi berbunga-bunga.
dan, tentu saya juga bisa bilang...bila kantor saya juga sumringah dengan event yang membutuhkan pasokan dana dari pemerintah sekitar 500 milyar rupiah ini. para cagub dan cawagub berani membayar mahal untuk pasang iklan di media cetak. iklan yang tentu saja menonjolkan janji-janji muluk mereka..iklan yang memperlihatkan bagaimana mereka seolah-olah dekat dengan rakyat kecil..iklan mereka melakukan kunjungan kesana kemari..
la iya..kok melakukan kunjungan baru sekarang. dulu, pas jadi pejabat, pas jadi ketua ormas, pas jadi tokoh politik, pas jadi pengusaha sukses, pas jadi perwira tni, kok ya nggak pernah nyambangi pasar, atau buruh pabrik.
apa nanti setelah mereka jadi pejabat tetap melakukan kunjungan-kunjungan cari muka ini?
tidak. mau bukti? lha wong wartawan (yang konon punya kekuatan sakti untuk bertemu bahkan menghakimi pejabat-pejabat) saja susah untuk bertemu mereka kok.....apalagi pedagang buah yang sambat stan-nya digusur satpol.
lha wong rata-rata mereka ini susah ditelpon wartawan dengan alasan telponnya dibawa ajudan kok...apalagi buruh pabrik yang sms usul supaya umr naik.
Senin, 30 Juni 2008
Perpisahan
Berbicara tentang perpisahan, sebagian besar orang mungkin akan menghubungkan kata ini dengan rasa haru. Begitu pula yang saya alami hari ini.
Saya seorang wartawan. Tadi sore, selepas maghrib, seperti biasa, para wartawan berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya. maklum, ini jam menjelang deadline.
Ini jam dimana banyak wartawan bakal mengacuhkan hal-hal yang tidak penting di luar isi berita yang akan mereka tulis.
Malah, ada juga (meski tidak banyak) mereka yang menganggap deadline adalah Tuhan. Ciri-cirinya mereka pasti tidak akan menghiraukan ketika anda datang padanya untuk tanya sesuatu, bahkan ketika anda tepuk pundaknya.
Sholat maghrib berjamaah jadi tinggal satu baris, juga karena deadline..
Tapi Ada pula (sedikit mungkin) tipe wartawan-wartawan santai, yang masih keluyuran ngalor-ngidul, tidak jelas apa yang mereka lakukan (termasuk saya).
Tiba-tiba bos, dengan setengah berteriak, mengisyaratkan anak buahnya (para wartawan dan lay-outer) untuk masuk ke ruang rapat. "Ayo..ayo..!"
Ternyata ada makan-makan.
Yang punya acara, bos juga. Namanya Pak Tatang. Singkat cerita, dia bos yang dikirim oleh bos besar (the boss of the boss),ke kantor saya, untuk menjadi semacam supervisor.
(Kantor dan media saya baru saja mengalami perubahan besar. Perubahan konsep, perubahan cara kerja, perubahan tampilan, dll, sehingga perlu ditunjuk seorang pembimbing agar perubahan ini bisa lancar.)
Nah, oleh bos besar, Pak Tatang dianggap telah sukses menyampaikan misi yang ia emban. Iapun ditarik kembali ke kantor semula, di Jakarta.
Acara makan-makan sebagai ujud perpisahan pun digelar. Tidak ada tumpeng diatas meja. Tapi satu wartawan mendapat jatah satu nasi kotak dengan lauk ayam goreng. Lengkap dengan sambal kecap dan lalapan.
Lalu Pak Tatang menyampaikan sambutannya. Ia bercerita panjang lebar tentang sebuah kisah nyata yang begitu melankolis. Intinya, cerita itu merupakan sebuah cerita analogi yang diharapkan menjadi sebuah pemompa spirit bagi kami, rekan-rekan kerja yang ia tinggalkan disini.
"Saya yakin, bila kita semua bekerja dengan baik, kelak kantor ini bakal bisa menjadi yang kita impikan," itu kata pak Tatang yang terakhir, sebelum bos saya mewakili para karyawan mengucapkan rasa terima kasih kepadanya.
Setelah itu, ruangan hening. Semua menundukkan kepala sebagai gerakan standar tanda berdoa.
Lalu, tiap wartawan dan tukang lay-out dipersilakan untuk mengambil jatah nasi kotaknya.
Lalu, tiap wartawan dan tukang lay-out pergi keluar dari ruang rapat, menuju meja masing-masing diselingi obrolan-obrolan ringan.
Lalu, ditaruhnya nasi kotak itu dengan perlahan. Dibuka. Sambal kecap ditaburkan ke atas nasi. Lalu mereka makan ayam goreng yang memang renyah itu dengan cepat dan lahap. Persis semboyan pasukan khusus Marinir AS (US Marine Recon) yang terkenal itu: 'Swift Silent Deadly'.
Bagaimana dengan si 'deadline adalah Tuhan?' nasi kotak itu ternyata juga tidak digubrisnya, karena tangan mereka lebih memilih menari diatas tuts keyboard, daripada harus hitam dan panas diterjang sambal kecap.
Setelah itu, suara ketukan keyboard dan dering telepon kembali memenuhi kantor.
Kantor saya kembali hidup.
Saya terharu. Bukan karena perpisahan pak Tatang yang pergi meninggalkan kami, setelah lima bulan rela berjauhan dengan keluarganya di Jakarta sana.
Saya terharu melihat para wartawan yang 'ngeloyor begitu saja' ke meja mereka masing-masing setelah ambil jatah nasi kotak. Saya terharu melihat mereka yang begitu memikirkan 'apa yang akan mereka sajikan besok di koran', sampai-sampai lupa untuk sekadar salaman dengan yang punya hajat.
Begitu besarnya dedikasi teman-teman saya ini terhadap pekerjaan mereka.
Pak Tatang, yang notabene wartawan senior yang banyak makan asam garam hidup, pasti menyadari dan sepenuhnya maklum akan hal ini.
Saya seorang wartawan. Tadi sore, selepas maghrib, seperti biasa, para wartawan berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya. maklum, ini jam menjelang deadline.
Ini jam dimana banyak wartawan bakal mengacuhkan hal-hal yang tidak penting di luar isi berita yang akan mereka tulis.
Malah, ada juga (meski tidak banyak) mereka yang menganggap deadline adalah Tuhan. Ciri-cirinya mereka pasti tidak akan menghiraukan ketika anda datang padanya untuk tanya sesuatu, bahkan ketika anda tepuk pundaknya.
Sholat maghrib berjamaah jadi tinggal satu baris, juga karena deadline..
Tapi Ada pula (sedikit mungkin) tipe wartawan-wartawan santai, yang masih keluyuran ngalor-ngidul, tidak jelas apa yang mereka lakukan (termasuk saya).
Tiba-tiba bos, dengan setengah berteriak, mengisyaratkan anak buahnya (para wartawan dan lay-outer) untuk masuk ke ruang rapat. "Ayo..ayo..!"
Ternyata ada makan-makan.
Yang punya acara, bos juga. Namanya Pak Tatang. Singkat cerita, dia bos yang dikirim oleh bos besar (the boss of the boss),ke kantor saya, untuk menjadi semacam supervisor.
(Kantor dan media saya baru saja mengalami perubahan besar. Perubahan konsep, perubahan cara kerja, perubahan tampilan, dll, sehingga perlu ditunjuk seorang pembimbing agar perubahan ini bisa lancar.)
Nah, oleh bos besar, Pak Tatang dianggap telah sukses menyampaikan misi yang ia emban. Iapun ditarik kembali ke kantor semula, di Jakarta.
Acara makan-makan sebagai ujud perpisahan pun digelar. Tidak ada tumpeng diatas meja. Tapi satu wartawan mendapat jatah satu nasi kotak dengan lauk ayam goreng. Lengkap dengan sambal kecap dan lalapan.
Lalu Pak Tatang menyampaikan sambutannya. Ia bercerita panjang lebar tentang sebuah kisah nyata yang begitu melankolis. Intinya, cerita itu merupakan sebuah cerita analogi yang diharapkan menjadi sebuah pemompa spirit bagi kami, rekan-rekan kerja yang ia tinggalkan disini.
"Saya yakin, bila kita semua bekerja dengan baik, kelak kantor ini bakal bisa menjadi yang kita impikan," itu kata pak Tatang yang terakhir, sebelum bos saya mewakili para karyawan mengucapkan rasa terima kasih kepadanya.
Setelah itu, ruangan hening. Semua menundukkan kepala sebagai gerakan standar tanda berdoa.
Lalu, tiap wartawan dan tukang lay-out dipersilakan untuk mengambil jatah nasi kotaknya.
Lalu, tiap wartawan dan tukang lay-out pergi keluar dari ruang rapat, menuju meja masing-masing diselingi obrolan-obrolan ringan.
Lalu, ditaruhnya nasi kotak itu dengan perlahan. Dibuka. Sambal kecap ditaburkan ke atas nasi. Lalu mereka makan ayam goreng yang memang renyah itu dengan cepat dan lahap. Persis semboyan pasukan khusus Marinir AS (US Marine Recon) yang terkenal itu: 'Swift Silent Deadly'.
Bagaimana dengan si 'deadline adalah Tuhan?' nasi kotak itu ternyata juga tidak digubrisnya, karena tangan mereka lebih memilih menari diatas tuts keyboard, daripada harus hitam dan panas diterjang sambal kecap.
Setelah itu, suara ketukan keyboard dan dering telepon kembali memenuhi kantor.
Kantor saya kembali hidup.
Saya terharu. Bukan karena perpisahan pak Tatang yang pergi meninggalkan kami, setelah lima bulan rela berjauhan dengan keluarganya di Jakarta sana.
Saya terharu melihat para wartawan yang 'ngeloyor begitu saja' ke meja mereka masing-masing setelah ambil jatah nasi kotak. Saya terharu melihat mereka yang begitu memikirkan 'apa yang akan mereka sajikan besok di koran', sampai-sampai lupa untuk sekadar salaman dengan yang punya hajat.
Begitu besarnya dedikasi teman-teman saya ini terhadap pekerjaan mereka.
Pak Tatang, yang notabene wartawan senior yang banyak makan asam garam hidup, pasti menyadari dan sepenuhnya maklum akan hal ini.
Langganan:
Postingan (Atom)