Senin, 30 Juni 2008

Perpisahan

Berbicara tentang perpisahan, sebagian besar orang mungkin akan menghubungkan kata ini dengan rasa haru. Begitu pula yang saya alami hari ini.
Saya seorang wartawan. Tadi sore, selepas maghrib, seperti biasa, para wartawan berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya. maklum, ini jam menjelang deadline.
Ini jam dimana banyak wartawan bakal mengacuhkan hal-hal yang tidak penting di luar isi berita yang akan mereka tulis.
Malah, ada juga (meski tidak banyak) mereka yang menganggap deadline adalah Tuhan. Ciri-cirinya mereka pasti tidak akan menghiraukan ketika anda datang padanya untuk tanya sesuatu, bahkan ketika anda tepuk pundaknya.
Sholat maghrib berjamaah jadi tinggal satu baris, juga karena deadline..
Tapi Ada pula (sedikit mungkin) tipe wartawan-wartawan santai, yang masih keluyuran ngalor-ngidul, tidak jelas apa yang mereka lakukan (termasuk saya).
Tiba-tiba bos, dengan setengah berteriak, mengisyaratkan anak buahnya (para wartawan dan lay-outer) untuk masuk ke ruang rapat. "Ayo..ayo..!"
Ternyata ada makan-makan.
Yang punya acara, bos juga. Namanya Pak Tatang. Singkat cerita, dia bos yang dikirim oleh bos besar (the boss of the boss),ke kantor saya, untuk menjadi semacam supervisor.
(Kantor dan media saya baru saja mengalami perubahan besar. Perubahan konsep, perubahan cara kerja, perubahan tampilan, dll, sehingga perlu ditunjuk seorang pembimbing agar perubahan ini bisa lancar.)
Nah, oleh bos besar, Pak Tatang dianggap telah sukses menyampaikan misi yang ia emban. Iapun ditarik kembali ke kantor semula, di Jakarta.
Acara makan-makan sebagai ujud perpisahan pun digelar. Tidak ada tumpeng diatas meja. Tapi satu wartawan mendapat jatah satu nasi kotak dengan lauk ayam goreng. Lengkap dengan sambal kecap dan lalapan.
Lalu Pak Tatang menyampaikan sambutannya. Ia bercerita panjang lebar tentang sebuah kisah nyata yang begitu melankolis. Intinya, cerita itu merupakan sebuah cerita analogi yang diharapkan menjadi sebuah pemompa spirit bagi kami, rekan-rekan kerja yang ia tinggalkan disini.
"Saya yakin, bila kita semua bekerja dengan baik, kelak kantor ini bakal bisa menjadi yang kita impikan," itu kata pak Tatang yang terakhir, sebelum bos saya mewakili para karyawan mengucapkan rasa terima kasih kepadanya.
Setelah itu, ruangan hening. Semua menundukkan kepala sebagai gerakan standar tanda berdoa.
Lalu, tiap wartawan dan tukang lay-out dipersilakan untuk mengambil jatah nasi kotaknya.
Lalu, tiap wartawan dan tukang lay-out pergi keluar dari ruang rapat, menuju meja masing-masing diselingi obrolan-obrolan ringan.
Lalu, ditaruhnya nasi kotak itu dengan perlahan. Dibuka. Sambal kecap ditaburkan ke atas nasi. Lalu mereka makan ayam goreng yang memang renyah itu dengan cepat dan lahap. Persis semboyan pasukan khusus Marinir AS (US Marine Recon) yang terkenal itu: 'Swift Silent Deadly'.
Bagaimana dengan si 'deadline adalah Tuhan?' nasi kotak itu ternyata juga tidak digubrisnya, karena tangan mereka lebih memilih menari diatas tuts keyboard, daripada harus hitam dan panas diterjang sambal kecap.
Setelah itu, suara ketukan keyboard dan dering telepon kembali memenuhi kantor.
Kantor saya kembali hidup.
Saya terharu. Bukan karena perpisahan pak Tatang yang pergi meninggalkan kami, setelah lima bulan rela berjauhan dengan keluarganya di Jakarta sana.
Saya terharu melihat para wartawan yang 'ngeloyor begitu saja' ke meja mereka masing-masing setelah ambil jatah nasi kotak. Saya terharu melihat mereka yang begitu memikirkan 'apa yang akan mereka sajikan besok di koran', sampai-sampai lupa untuk sekadar salaman dengan yang punya hajat.
Begitu besarnya dedikasi teman-teman saya ini terhadap pekerjaan mereka.
Pak Tatang, yang notabene wartawan senior yang banyak makan asam garam hidup, pasti menyadari dan sepenuhnya maklum akan hal ini.

Tidak ada komentar: